Berkenalan Dengan #MuseumBahari

Tanamtumbuh Media
3 min readMay 15, 2023

--

Tampak Luar Bangunan A Museum Bahari. Foto milik Tanamtumbuh Media/Salman Kamal©

Sekelumit perjalanan mengagumi sejarah kebaharian di Indonesia

Dahulu, bangunan yang saat ini dikenal publik sebagai Museum Kebaharian Jakarta atau Museum Bahari pertama kali digunakan sebagai gudang rempah-rempah milik Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Sejarah mencatat, peletakkan batu pertama terjadi sekitar tahun 1652. Terdiri dari tiga bangunan utama yakni, bangunan A selesai dibangun pada tahun 1719, bangunan B selesai pada 1774, dan bangunan C selesai pada 1773.

Bangunan yang awalnya milik VOC ini sempat berjaya pada masanya. Bagaimana tidak, komoditas utama perdagangan disimpan di sana. Kopi, rempah, tekstil, hingga bahan tambang seperti timah serta tembaga menjadi primadona utama saat itu. Setelah Belanda pergi dari Indonesia, kependudukan tentara Jepang memanfaatkannya sebagai gudang logistik bagi angkatan bersenjata mereka. Sekian tahun berlalu, pasca kemerdekaan gedung ini sempat digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai gudang.

Tampak Ruangan Museum Bahari J akarta Utara Foto milik Tanamtumbuh/Nurwaldi Iswara©

Lalu pada tahun 1976, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan pemugaran dan revitalisasi sekaligus ditetapkan sebagai cagar budaya. Lalu pada tahun 1977 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin meresmikan bangunan ini sebagai Museum Bahari yang secara tidak langsung menjadi pengingat pengaruh sektor maritim bagi Indonesia.

Rasa penasaran membuahkan sebuah perjalanan ke sana. Sejak kedatangan, kondisi tempo dulu saat Belanda berjaya di Jakarta masih sangat terasa. Kekuasaan dan kekuatan mungkin kata yang tepat untuk menggambarkannya. Sesampainya di sana tampak jelas bahwa Menara Syahbandar tak lagi berdiri tegak. Menara pantau dengan tinggi 12 meter ini dibangun pada tahun 1839, itu artinya, pada tahun 2023, menara yang menjadi saksi bisu perkubuan Belanda ini genap berusia 184 tahun.

Area Ruang Atas Bangunan Museum Bahari. Foto milik Tanamtumbuh Media/ Salman Kamal

Tangga dari bongkahan kayu-kayu besar berwarna merah jadi pijakan yang menghantarkan wisatawan hingga ke atas. Awalnya proses menaiki tangga berjalan mulus, saat ditengah, langkah kaki terasa semakin berat, mungkin, karena bangunan menara yang miring. Sesampainya di atas, memang semua nampak jelas terlihat. Ramainya pelabuhan, mobilitas manusia, dan hilir mudik kendaraan pengangkut logistik. Tidak terlalu tinggi untuk sebuah menara yang mengawasi sekian banyak jalur penting.

Perjalanan dilanjutkan untuk melihat bagaimana suasana Museum Bahari hari ini. Hari itu Jakarta sedang terik-teriknya, tapi rasanya di dalam kurang cahaya. Terlihat dari luar beberapa lokasi tampak gelap dan kurang terawat. Lagi-lagi, arsitektur gaya Belanda khas dengan banyaknya jendela serta pintu-pintu raksasa menjadi daya tarik tersendiri. Pertama, koleksi museum berupa kapal tradisional dari Sabang sampai Merauke tersimpan rapi di dalamnya. Perjalanan dilanjutkan melihat berbagai jenis kapal dalam bentuk miniatur, ada sang legenda Dewa Ruci bertengger di sudut ruangan.

“Nenek moyangku seorang pelaut,” begitu kata Ibu Soed dalam syairnya. Lewat Museum Bahari kita lebih percaya bahwa lirik itu nyata. Kekayaan laut Nusantara tak lagi bisa terbantahkan. Sudah tidak ada lagi ragu untuk menyatakan megahnya sektor maritim negeri ini.

Museum Bahari Indonesia terletak di Jalan Pasar Ikan №1 Sunda Kelapa, Jakarta Barat. Museum ini buka dari jam 09.00–15.00 WIB, setiap Selasa hingga Minggu. Museum tetap buka di hari libur sekolah. Berkunjung ke Museum Bahari adalah sebuah keharusan untuk tujuan belajar, dokumentasi, atau sekedar mengagumi kejayaan laut kita.

Penulis: Salman Kamal — Jurnalis Tanamtumbuh Media

--

--

Tanamtumbuh Media
Tanamtumbuh Media

Written by Tanamtumbuh Media

Sebuah Publikasi Seni & Desain Secara Massal.

No responses yet