Dilemma Oversharing yang Sebenarnya Tidak Masalah untuk Dilakukan
Oleh: Endrapta Ibrahim Pramudhiaz
Lini masa pada hari itu ramai dengan skandal yang (lagi-lagi) menyerang eks member JKT48, Adhisty Zara. Di sebuah video hasil rekaman layar, Zara yang akhir-akhir ini sedang naik namanya, terlihat bercumbu dengan seorang lelaki. Kegiatan mesra-mesraan itu ia lakukan dengan mantan suami dari influencer Rachel Vennya, Okin.
Saat video itu melintas, saya langsung nyeletuk, “Wah, kena lagi, nih, anak,” ditambah dengan gelengan kepala ke kanan dan kiri. Ini bukan kali pertamanya Zara terkenal skandal serupa. Ia pernah juga tersandung masalah yang berhubungan dengan mesra-mesraan seperti ini.
Yang lebih sama lagi, bukti skandal itu berupa rekaman layar juga. Memang followers Zara di akunnya ini ember semua mulutnya.
Sebenarnya saya tidak mau ambil pusing soal masalah artis kayak gini. Tapi, satu hal yang cukup memicu saya adalah anggapan orang-orang bahwa Zara melakukan oversharing di medsosnya. Jadi, dia terlalu banyak membagikan kehidupannya di media sosial, dimana orang-orang menganggap kalau itu adalah sebab dari skandal-skandal Zara selama ini.
Saya sebagai orang yang gemar membagikan kegiatan dan bercerita di media sosial, merasa kalau apa yang dilakukan oleh Zara ini belum bisa dibilang oversharing. Oke, mungkin dia dianggap tidak wajar karena membagikan video dia bercumbu di media sosial, tetapi dia mengunggahnya menggunakan fitur close friend di Instagram.
Bukan ingin membela, namun yang musti dipermasalahkan di sini adalah bagaimana teman close friend dia mencederai kepercayaan yang Zara berikan untuk berada di close friend miliknya. Perihal masalah grooming yang dilakukan Okin, mari kita sepakat kalau itu adalah sesuatu yang salah.
Kembali ke masalah oversharing. Saya menganggap kalau sesuatu bisa disebut sebagai oversharing jika ia menyebarkan banyak konten ke massa yang besar dan ada beberapa orang yang terganggu akan hal tersebut. Kalau dilakukannya ke close friend yang notabene hanya beberapa orang yang dipilih, tentu saja itu bukan oversharing. Sama halnya dengan membuat akun kedua di media sosial untuk membagikan kegiatan sehari-hari.
Saya pribadi senang melihat unggahan teman-teman saya. Selain karena ingin tahu kalau mereka baik-baik saja, saya jadi merasa seperti “ditemani”. Apalagi saat sedang PPKM gini yang membatasi pertemuan langsung. Belum lagi kalau bisa saling balas membalas dan akhirnya bisa saling bertukar cerita. Pasti akan sangat memulihkan kerinduan.
Bercerita soal kegiatan sehari-hari bisa juga menjadi jurnal pribadi, loh. Dulu kalau mau cerita-cerita, pasti hanya mengandalkan buku harian, kan. Sekarang bisa melalui media sosial. Terlebih dengan seabrek fitur pendukung, ceritanya bisa lebih menarik untuk didengar. Menyenangkan, bukan, kalau bisa memiliki arsip untuk kegiatan sehari-hari?
Jadi, ya, tidak ada yang salah dengan membagikan kegiatan ke teman-teman di media sosial. Tidak ada larangan yang menyebutkan kalau seseorang tidak boleh oversharing mengenai kegiatan sehari-harinya. Termasuk ke jenis konten yang ingin dibagikan.
Kuncinya ada pada jumlah massa yang melihatnya. Jika dirasa tidak layak untuk konsumsi banyak orang, baiknya dibagikan hanya kepada orang yang benar-benar dipercaya. Lalu untuk kamu yang terganggu akan kontennya, lebih baik langsung mute saja akunnya.
Kalau ada yang ingin dibagikan, ya, bagikan saja. Jangan dipendam. Kentut saja kalau ditahan-tahan bisa berakibat buruk bagi kesehatan. Sama pula dengan hal ini.