Faktanya, Enggak Semua di Hidup Ini Bisa Kamu Kendalikan
Pagi itu, kerasnya dering alarm membuat diriku terbangun dari lelapnya tidur ini. Biasanya, jempolku akan mendarat di bagian layar gawai yang menunjukkan gambar snooze. Namun saat itu, aku merasa lebih segar dari pagi-pagi yang lalu. Mungkin karena pengaruh tidur cepat semalam. Aku tak hiraukan soal itu dan langsung beranjak dari tempat tidur untuk mencuci muka.
Usai menjalankan kewajiban agama di pagi hari, aku sempatkan buka Twitter untuk sekedar usap mengusap linimasa. Tidak ada yang spesial pada pagi itu. Semua masih hasil cuitan, retweet, dan likes tadi malam.
Hingga akhirnya, aku melihat twit yang dikirim oleh salah satu teman dekatku. Di twit itu, dia merasa cemas dan ketakutan. Dari pemilihan diksinya juga, aku bisa membayangkan dirinya sedang dikelilingi oleh rasa tidak menyenangkan.
Tanpa pikir panjang, aku mengirim pesan ke dia melalui WhatsApp dengan harapan bisa menenangkan dirinya.
“Hey..
Gue lg scrolling2 Twitter terus ngeliat lo kyknya lagi not in a good state of mind.
Apapun yg membuat lu kepikiran dan gelisah, semoga lekas terselesaikan, ya.”
Betul saja. Beberapa jam kemudian dia membalas pesanku dan mengatakan kalau semalam ia sedang kepikiran sesuatu yang buruk akan masa depannya. Overthinking yang dahsyat itu membuat jantungnya berdegup kencang, gemetaran tidak tahu apa ini yang sedang mengguncang.
Aku coba kirimkan dua buah video Marissa Anita tentang stoikisme, dengan harapan bisa membantu ia tenang. Temanku pun menyambut pemberian untuk dengan baik dan berjanji akan menontonnya saat sedang senggang.
Mungkin yang jadi pertanyaan, kenapa aku mengirim dua video itu? Kenapa tidak suruh dia cerita? Apa hubungannya masalah dia dengan stoikisme?
Aku pikir kita harus sepaham dulu di sini mengenai apa itu stoikisme. Stoikisme adalah cara hidup yang mengarah pada ketenangan hidup, kecukupan hidup, kedamaian hati dan pikir, tidak takut akan kemiskinan, kesengsaraan, dan kematian.
Satu hal yang ingin ditekankan oleh para filsuf stoikisme ialah kemampuan untuk mengendalikan hal-hal yang hanya bisa kita kendalikan. Tidak perlu peduli pada hal-hal yang tidak bisa dikendalikan seperti kegagalan atau peristiwa tidak mengenakkan karena itu bukan ada di kendali kita.
Sama dengan yang disebutkan oleh Henry Manampiring di buku Filosofi Teras, dimana ada sebuah prinsip bernama dikotomi kendali. Manusia hanya bisa memegang kendali akan hal seperti pikiran, pertimbangan, pendapat dan tindakannya sendiri.
Sisanya ada di luar kendali. Sebut aja seperti cuaca, kapan pandemi ini usai, kondisi ekonomi, dan juga masa depan.
Aku sendiri sedang mencoba menjalankan cara hidup ini selama beberapa bulan terakhir. Hasilnya belum bisa dibilang memuaskan, but I’m still trying. Tidak perlu terburu-buru untuk mencapai ke titik aku bisa sepenuhnya menjalankan dengan baik. Tentunya karena itu merupakan hal yang tidak bisa aku kendalikan. Yang bisa aku kendalikan adalah proses aku menuju pencapaian tersebut.
Jadi, tidak semua hal di hidup ini ada di genggaman kita. Terkadang, kita harus sadar kalau ada beberapa beban yang memang tidak perlu kita pikul. Tidak perlu mencemaskan sesuatu yang ada di luar kendali kita karena itu hanya akan menjadi tanggungan yang tidak berarti. Ingat, dikotomi kendali.