instaxnesia: A Nation of Creative Expression — Merayakan Ragam Kreativitas Nusantara
Kolaborasi lintas kreator dan subkultur Indonesia dalam buku seni pertama Fujifilm Indonesia, menghadirkan instax sebagai medium ekspresi yang bermakna.
Dari kejauhan, sebuah buku dengan desain mencolok langsung mencuri perhatian. Sampulnya yang memadukan warna merah muda dan biru tampil menawan. Buku ini berjudul instaxnesia: A Nation of Creative Expression, karya dari Fujifilm Indonesia, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Pear Press. Sejak 19 Maret 2025, buku ini sudah tersedia di seluruh toko buku Gramedia di Indonesia. Menariknya, ini merupakan buku seni pertama yang diterbitkan oleh FUJIFILM Corporation, hasil kolaborasi fotografi instan (instax) dengan 35 kreator lintas disiplin dari berbagai penjuru tanah air.
Bagi Fujifilm, instax bukan sekadar produk tren sesaat, melainkan medium yang menghubungkan lebih dalam dengan budaya dan masyarakat. Fakta bahwa instax telah terjual lebih dari 100 juta unit menjadi bukti kuat. Koneksi ini pun menumbuhkan kesadaran akan pentingnya subkultur — suara-suara dari lapisan masyarakat yang kerap luput, namun membawa nilai dan perspektif segar.
Pertanyaan “Apa jadinya jika instax bersentuhan dengan subkultur?” menjadi awal dari lahirnya buku ini. instaxnesia membagi karya para kreator ke dalam beberapa kategori.
Pekerja Visual menampilkan karya dari Wastana Haikal, Karin Josephine, Hana Madness, dan lainnya. Kategori Karangan dan Pertunjukan menghadirkan kontribusi dari Lala Bohang, Miyu, Gina S. Noer, dan masih banyak lagi. Pada kategori Bebunyian dan Musik, terdapat karya dari Ifa Fachir, Suneater, Laze, dan sejumlah nama lainnya. Sementara itu, kategori Platform dan Kolektif menampilkan kolaborasi dari TacTic Plastic, Grafis Nusantara, Special Hub Indo, dan lain-lain. Terakhir, kategori Kerajinan dan Gaya Hidup menyajikan karya dari Ayu Larasati, Ria Papermoon, Lianggono Susanto, serta sejumlah kreator lainnya.
“Di Indonesia — di mana kesadaran kolektif dan komunitas begitu kuat — kami merasa bahwa keberadaan subkultur memiliki makna yang lebih besar lagi. Lewat buku ini, kami berharap dapat menyinari tempat-tempat di mana budaya tumbuh, serta tatapan dan cara pandang masyarakat — dengan lembut dan penuh rasa hormat,” Masato Yamamoto, Direktur Utama Fujifilm Indonesia.
Lebih dari sekadar jembatan antara instax dan subkultur, buku ini juga hadir untuk menyebarkan kebahagiaan. Sejalan dengan semangat Giving our world more smiles, buku ini menjadi bagian dari program tanggung jawab sosial (CSR) Fujifilm Indonesia.
“Seluruh keuntungan dari penjualan buku ini akan disumbangkan ke tujuh panti asuhan di seluruh Indonesia, mendukung anak-anak dengan perlengkapan pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya,” tambah Masato.
Tak hanya itu, para karyawan Fujifilm Indonesia juga mengunjungi panti asuhan untuk mendokumentasikan momen bersama anak-anak menggunakan kamera instax dan memberikan hasil cetakannya sebagai kenangan.
Fujifilm Indonesia meyakini bahwa momen-momen yang diabadikan punya peran besar, terutama bagi anak-anak yang mungkin tumbuh tanpa kehadiran keluarga utuh. Dalam kehangatan lingkungan sekitar, instax bisa menjadi cara untuk menyimpan momen-momen berarti — yang bisa digenggam dan dikenang.
Dalam sesi Press Launch, Masato Yamamoto kembali menegaskan bahwa seluruh keuntungan dari penjualan buku serta kerja sama ekonomi lainnya akan disalurkan untuk tujuan amal sebagai bagian dari program tanggung jawab sosial (CSR) Fujifilm Indonesia.
Diskusi buku menjadi sorotan utama, dimoderatori oleh Katrine Gabby Kusuma (Editor dari KPG), dengan panelis seperti Averroes (Desainer Grafis Senior dari Pear Press), Karin Josephine dan Hana Madness (pekerja visual), serta Ayu Larasati (seniman keramik). Mereka berbagi cerita di balik proses kreatif buku ini dan bagaimana instax mendukung eksplorasi mereka dalam berkarya.
Kini, buku instaxnesia: A Nation of Creative Expression resmi diluncurkan dan bisa dibeli di seluruh toko Gramedia seharga Rp280.000.
“Melalui buku ini, harapannya masyarakat dapat memiliki pandangan yang lebih terbuka — bahwa kekayaan seni dan budaya yang kita miliki menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kreatif,” tutup Masato.