Memaknai Arti dari Sustainability yang Sebenarnya
Setiap orang mengatakan ini sustainable, itu sustainable. Bahkan sekarang tidak sedikit brand yang menganggap dirinya itu sustainable. Tapi sebenarnya apa sih yang dibutuhkan untuk (benar-benar) menjadi “sustainable”?
Apa itu Suitability?
Bila ingin ideal, tentu seharusnya konsep sustainability menjaga peradaban manusia dan membentuk peradaban manusia yang lebih baik. Atau saya biasanya menggunakan istilah “memanusiakan manusia”. Dengan cara apa?
- mensejahterakan kehidupan manusia di bumi;
- membangun tatanan sosial yang adil; dan
- melestarikan bumi sebagai habitat manusia.
Bagaimana Praktik Sustainability?
“Sustainability Movement” saat ini terbagi menjadi 4 stream: Bisnis, Kebijakan, Activism dan Life style. Percayalah, 4 stream ini secara langsung maupun tidak langung saling berkaitan.
Pertama, yang dilakukan oleh korporasi, umumnya korporasi besar atau multinasional. Apa latar belakangnya? Kebanyakan korporasi yang mulai mengadaptasi konsep-konsep sustainability sebagai bagian dari Risk Managament maupun Stakeholder Management. Korporasi tentunya membutuhkan sumber daya yang besar untuk memutar bisnisnya. Atau, bisa saja aktivitas mereka justru menimbulkan kondisi kontra-sustainability, sehingga mereka butuh aktivitas pro-sustainability sebagai balance.
Stream kedua adalah kebijakan yang digawangi oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional semacam PBB atau WEF atau USAID. Stream kebijakan bisa dibilang sebagai macro-sustainability karena pendekatannya lebih banyak dalam ranah macro. Goals nya adalah kesejahteraan rakyat.
Sayangnya, pada stream ini banyak kebijakan-kebijakan yang diciptakan tidak diimplementasikan dengan baik. Masalah pengawasan dan peningkatan kapasitas menjadi kendala utama. Seringkali kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maupun program-program yang dipromote oleh lembaga-lembaga internasional kurang bersifat nyata.
Stream ketiga, Activism atau Advocacy. Stream ini banyak dilakukan oleh NGO maupun lembaga-lembaga advokasi. Kegiatan-kegiatan mereka banyak bertujuan untuk membangun kesadaran akan sustainability, mendorong bisnis dan pemerintah untuk membangun kerangka sustainability, serta sebagai “informal control” dari praktik-praktik yang kontra terhadap prinsip sustainability.
Terakhir, adalah gerakan grass root yang menjadikan sustainability sebagai “life style”. Stream ini bersifat sporadis dan muncul atas kesadaran atau terbawa arus influencer. Sekarang, banyak sekali muncul gerakan-gerakan grass root terkait green life style atau lainnya.
Namun demikian, gerakan-gerakan tersebut nampaknya belum cukup kuat untuk mendorong berkembangnya sustainability di Indonesia. Gerakan-gerakan yang muncuk di kota-kota besar seringkali bermula sebagai “trend” dan “urban culture” saja.
Jadi, kesimpulannya sustainability adalah adanya keseimbangan antara dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi dari setiap kegiatan. Tentunya produk dengan bahan yang eco-friendly dan ethical ke manusia belum tentu cukup, bila cashflow brand tetap berantakan dan akhirnya malah tidak bisa “sustain” alias “bertahan lama.”
Dan sustainability bukan lah gaya hidup tapi cara hidup. Tentunya, sustainability yang dimaksud adalah yang benar-benar mendukung dan menciptakan keberlanjutan umat manusia secara menyeluruh. Sustainability untuk seluruh manusia, bukan untuk sebagian manusia yang ingin sustain namun mengatasnamakan sustainability.