Membedah Peramal Lampu Merah di Tengah Macetnya Kota Jakarta
Kemacetan lalu lintas merupakan permasalahan yang sudah lama terjadi di kota-kota besar yang ada di Indonesia. Tidak hanya Jakarta, laporan Bank Dunia tahun ini menyebut kota-kota besar lainnya. Kemacetan menghabiskan banyak waktu keseharian masyarakat. Kita mbil contoh di ibu kota Jakarta. Setiap tahunnya masyarakat Jakarta menghabiskan lebih dari 400 jam di jalan.
Tidak berbeda dengan Jakarta, di kota lain seperti Padang dan Yogyakarta, seperempat waktu perjalanan mereka habis di tengah kemacetan. Salah satu penjelasan mengapa kemacetan terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, adalah karena fenomena urbanisasi atau perpindahan masyarakat dari desa ke kota.
Berbicara soal kemacetan yang ada di sejumlah kota besar pasti identik dengan yang namanya lampu lalu lintas atau yang biasa kita tahu ‘lampu merah’. Mungkin kalian yang sering berkendara dan terburu-buru, tentu tidak berharap mendapat jatah lampu merah pada sebuah lampu lalu lintas.
Apalagi jika berada dalam kondisi lampu merah yang sangat lama. Sementara menerjangnya adalah pilihan yang membahayakan, belum lagi ancaman tilang dari polisi. Tapi, pernahkan kalian berpikir ketika menunggu lampu hijau bahwa pengendara yang lain sudah bersiap untuk tancap gas. Padahal lampu merah masih menyala.
Kami pun menelusuri problematika ini dengan bertanya kepada salah satu pengendara motor yang sering melintasi belasan lampu merah saat jam berangkat kerja.
“Intinya setiap pergantian lampu merah di tiap arah itu pasti enggak langsung yang kanan lampu hijau yang kiri langsung merah. Pasti ada jeda 2–3 detik. Baru dari arah yang lain ganti warna dari hijau kuning ke merah dan sebaliknya”
Jadi itu lah penyebab banyak pengendara yang kami sebut ‘peramal lampu merah kota Jakarta’. Pada intinya pergantian lampu itu ada selang beberapa detik untuk berganti ke lampu yang lainnya.