Mengenal Lebih Dekat Omnibus Law yang Jadi Perdebatan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. RUU Cipta Kerja yang ditujukan untuk menarik investasi dan memperkuat perekonomian nasional ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak, dimana terdapat beberapa perbedaan dengan UU №13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Setelah melewati proses yang lumayan panjang, DPR resmi sahkan Omnibus Law Cipta Kerja pada hari Senin tanggal 5 Oktober 2020. Hal ini memicu kemarahan dari rakyat. “Dari Rakyat untuk Rakyat” dianggap gak lagi berlaku pada saat ini. Terdapat beberapa poin dari UU yang dianggap membunuh dan menyengsarakan rakyat sendiri. Diantarnya adalah:
Pasar 77A RUU
Cipta Kerja menambahkan pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu kerja lembur untuk sektor tertentu. Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sector usaha tertentu.
Pasal 88C RUU
Cipta Kerja juga menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah.
Pasal 91
Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, ada kekeliruan yang timbul di masyarakat, yaitu perihal asumsi dihapuskannya pasal 93. Padahal, nyatanya pasal 93 tidak dihapuskan, bahkan tidak diubah sama sekali.
Berikut ini adalah darft final RUU Cipta Kerja yang disahkan di paripurna https://drive.google.com/file/d/1fIA0-4JwlNZFaL8kM-oVJTaZiUsqJehJ/view
Sebenarnya permasalahan ini timbul karena banyaknya pasal-pasal yang dianggap multitafsir, sehingga terdapat potensi menjadi pasal karet.yang nantinya bisa saja RUU cipta kerja ini dipelintir.
Pemerintah sendiri dianggap hanya mementingkan kepentingan oligarki. Selain kekecewaan kepada pemerintah, ribuan orang pun kecewa kepada influencer yang seharusnya menginfluence hal yang baik, tetapi malah menyetujui hal yang merugikan para pekerja.
Masyarakat saat ini berbondong-bondong menyuarakan kekecewaan atas perihal tersebut. Karena hal ini, tagar #MosiTidakPercaya dan #TolakOmnibusLaw pun ikut menjadi trending di media social.