Merantau dari Jogja ke Jakarta Adalah Sebuah Kekalutan

Tanamtumbuh Media
3 min readNov 8, 2021

--

Sumber: Void.com

Oleh: Silvester Alvin Basundara

Sebagai orang yang dilahirkan serta tumbuh dan berkembang di Kota Pelajar, fase paling berat dan dapat dikatakan sulit adalah merantau.

Ya, Yogyakarta. Provinsi yang memiliki sistem otonomi daerah yang khusus, berbeda dengan provinsi-provinsi lainnya yang ada di Indonesia, sehingga mendapat predikat sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, bagi saya kata ‘istimewa’ sendiri memiliki makna lebih dalam ketimbang sistem otonominya. Mulai dari setiap sudutnya yang menyimpan berbagai memori, hingga kesederhanaan dan kenyamanan yang dapat dinikmati di mana saja dan kapanpun. Benar kata Adhitia Sofyan, “ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja.”

Bagi warga asli Jogja, tidak ada alasan yang cukup kuat untuk pergi meninggalkan tempat ini, kesederhanaan, keramahtamahan, biaya hidup yang murah, tempat wisata dan masih banyak lagi jika dapat diuraikan tentang kenyamanan di Jogja. Tapi, ada satu alasan yang paling fundamental seseorang terpaksa pergi dan meninggalkan Jogja, kalau bukan perihal karir. Secara UMR Jogja kan rendah hehehe.

Tak hanya warga asli Jogja saja yang betah untuk hidup dan tinggal, nyatanya banyak dari sebagian mahasiswa yang menempuh studi di Jogja memutuskan untuk menetap. Bahkan liciknya lagi, mereka (mahasiswa) mengaku ke orang tua bahwa belum lulus, padahal aslinya sudah lulus. Cara tersebut dilakukan agar uang bulanan tetap mengalir lancar. Berbeda halnya kalau mengaku sudah lulus, kalau nggak disuruh pulang ya pastinya suruh cari kerja, biar orang tua nggak ngasih biaya hidup lagi.

Merantau mungkin bagi sebagian orang merupakan hal yang biasa saja, namun bagi saya pribadi memang hal baru, sehingga dapat dibilang merantau adalah hal paling berat. Apalagi meninggalkan Jogja untuk hidup di Jakarta. Ya, Kota Metropolitan, dimana letak Ibu kota berada di sini.

Tentunya, culture shock tidak dapat dihindari bagi perantau. Sejak menginjakkan kaki di Jakarta, satu hal yang paling mencolok dari lingkungan sosialnya adalah, keseharian orang-orang jakarta yang terlihat amat sibuk dan serius, terutama mereka para pekerja. Hal ini sering dijumpai ketika jam berangkat dan pulang kantor, misalnya di berbagai moda transportasi, tampak orang-orang berjalan dengan sedikit cepat, sambil menenteng tas, sesekali sibuk dengan gawai di telinga perihal urusan bisnis, atau membuka laptop karena dikejar deadline. Sungguh fenomena yang jarang sekali dijumpai ketika berada di Jogja.

Selain itu, yang tak kalah membuat bingung dan heran adalah tata ruang dan jalanannya , sehingga menghafal jalanan Jakarta merupakan PR berat bagi saya. Di sisi lain, para pengendara di Jakarta, baik motor maupun mobil kebanyakan tidak taat dengan aturan rambu-rambu lintas, sehingga terkadang menjadi dilematis, antara harus taat aturan atau mendapat suara klakson dari banyak pengendara disekitarnya. Argumen di atas tentunya bukan berarti masyarakat Jogja seluruhnya selalu taat dengan aturan, bukan. Akan tetapi di Jakarta pelanggaran terjadi secara masif.

Perbedaan latar belakang dari aspek sosial dan budaya memang menjadi faktor munculnya culture shock. Hal tersebut memang wajar terjadi, memang dialami semua perantau, tak memandang asal daerah maupun tempat daerah yang sedang ditinggali. Adaptasi merupakan kunci agar dapat berdamai dengan keadaan, karena seiring berjalannya waktu pola hidup akan terbentuk dan menjadi budaya baru, tanpa meninggalkan jati diri masing-masing.

Baik Jogjakarta maupun Jakarta, sebenarnya sama saja, memiliki kelebihan masing-masing juga kekurangannya, bahkan di daerah-daerah lain. Dari pengalaman di atas, terdapat satu hal penting yang dapat dipetik, bahwa:

“Jakarta tempat dimana mental ditempa, sedangkan Yogyakarta merupakan tempat dimana mental kembali dipulihkan.”

--

--

Tanamtumbuh Media
Tanamtumbuh Media

Written by Tanamtumbuh Media

Sebuah Publikasi Seni & Desain Secara Massal.

No responses yet