Stop Diskriminatif, LGBTQ+ Punya Hak Hidup
Cukup banyak diketahui oleh masyarakat bahwa LGBTQ+ merupakan singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, dan Queer. Istilah ini mulai digunakan sejak 1990-an, pada 1998 di Amerika istilah ini mulai digunakan dan mulai berkembang. Meski masih menuai kontroversi, tetapi istilah ini dipandang lebih positif dan dianggap secara umum mewakili komunitas yang tidak disebutkan.
Bukan hanya di Indonesia, komunitas LGBT ini kerap kali masih mendapat perlakuan diskriminasi dari masyarakat lain. Padahal sejatinya, orang-orang yang berada di komunitas ini juga merupakan manusia yang memiliki derajat yang setara dengan manusia lainnya. Seperti yang diatur dalam Pasal 28 Ayat (2): Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perilaku yang bersifat diskriminatif itu. Artinya, semua masyarakat negara memiliki hak perlindungan atas dasar apapun termasuk orang-orang yang berada di komunitas ini.
Ini juga ditegaskan berdasarkan survei nasional dari Saiful Mujani Research and Consulting, 57,7% publik berpendapat komunitas LGBT memiliki hak untuk hidup meski bertentangan dengan agama. Perikemanusiaan bermain disini. Masih dengan lembaga survei yang sama, 45% responden menyatakan bersedia menerima anggota keluarga mereka yang berorientasi seksual LGBTQ+. Artinya meskipun ini bertentangan dengan agama dan LGBTQ+ adalah hal salah, mereka akan tetap menerima anggota keluarga entah Adik, Kakak atau sepupu mereka berorientasi seksual ini.
LGBTQ+ bukanlah suatu gangguan mental atau penyakit. Ini bukan suatu kelainan. Meski saling berkaitan tetapi terbentuknya jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual merupakan proses yang terpisah. Ini juga menjelaskan bahwa seseorang yang berjenis kelamin perempuan, belum tentu gendernya feminim dan memiliki orientasi seksual kepada laki-laki begitupun sebaliknya.
LGBTQ+ bukan penyakit dijelaskan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) tahun 1973, homoseksual tidak dikategorikan sebagai gangguan jiwa. Juga di Indonesia dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa menegaskan homoseksual, heteroseksual, biseksual bukan gangguan jiwa. Dalam kedua rujukan tersebut juga jelas bahwa orientasi seksual bukanlah gangguan jiwa atau penyimpangan. Justru orientasi seksual dibentuk oleh otak, dipengaruhi oleh faktor genetik dan perkembangan otak selama didalam janin.
Tidak hanya orientasi seksual, tetapi juga otak kita membentuk orientasi diri dimana kita menentukan gender apakah fenimim atau maskulin. Otak adalah organ yang pertama kali terbentuk dikandungan, menyusun segala macam termasuk orientasi diri manusia. Alam semesta bersifat acak, tetapi manusia yang menyukai pola. Ada banyak varian termasuk untuk orientasi seksual.