Teman Perupa ICAD — Arum Tresnaningtyas
ARUM TRESNANINGTYAS (Solo, 12 April 1984) adalah seniman fotografi. Lulusan Ilmu Komunikasi dari Universitas Sebelas Maret tahun 2007, dan Fotojurnalis dari Universitas Ateneo de Manila tahun 2012. Tahun 2020, ia menyelesaikan Magister Seni Rupa jurusan Pengkaryaan di ITB. Karena latar pendidikan dan pengalamannya sebagai fotojurnalis, unsur jurnalistik yang berbasis subjek dan bekerja dengan informasi di lapangan sangat terasa di dalam karya foto Arum. Namun, karyanya bukan foto jurnalistik, karena lebih tepat dilihat sebagai foto kontemporer. Arum memilih mendekatkan diri dengan subjeknya dan mengundang subjek masuk berkolaborasi dengannya. Karyanya menekankan proses dan eksplorasi terhadap konsep fotografi itu sendiri.
Tema yang diangkat Arum cukup beragam. Mulai dari isu perempuan yang personal baginya, seperti arti pernikahan di Kapan Nikah (2018), hingga isu identitas perempuan yang konteksnya lebih luas, seperti representasi diri pekerja genteng di Lenggang Jebor (2016), komodifikasi dan identitas pengguna hijab di Perempuan yang Kehilangan Wajahnya (2018), Pasar Baru (2019), dan Novelty Vague (2020). Beberapa karyanya juga membicarakan realita sosial di dunia digital. Karya Aku Hari Ini (2015) dan Analog Filter (2018) memposisikan swafoto sebagai cara berkomunikasi dan bernavigasi individu. Bertanam Teman, Teman Bertanam (2020) merupakan implementasi bahasa visual Instagram — fitur multiplikasi, filter, dan format vertikal — sebagai bahasa visual keseharian di masa sekarang. Hal ini menunjukkan perhatiannya kepada cara komunikasi visual terkini.
Arum cenderung menggarap karya dengan durasi yang panjang. Contohnya, proyek Dewi Pantura (2012–2017) dan proyek dengan Kasepuhan Ciptagelar (2019-sekarang). Dua proyek tersebut memperlihatkan suatu disiplin penjelajahan yang cukup organik dalam hal pengkaryaan. Dewi Pantura, sebuah proyek foto dokumenter tentang grup musik dangdut tarling, telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk presentasi yang disesuaikan dengan kondisi publiknya. Awalnya, Dewi Pantura dipresentasikan dalam bentuk koran dan didistribusikan ke masyarakat Pantura. Selanjutnya, ia dipresentasikan sebagai buku foto yang lebih konvensional, namun bercita rasa koran, dan pembaca dapat mengambil lembaran cetakan foto di buku dan bebas memindahkan urutan halaman buku dan menyusun narasinya sendiri. Proyek kedua, di Kasepuhan Ciptagelar, berawal dari partisipasinya di tahun 2019 sebagai peserta program residensi Seniman Mengajar. Awalnya, Arum membantu mengembangkan produksi dan literasi media generasi muda di sana. Lambat laun, Arum mencoba memahami lebih dalam filosofi hidup masyarakat adat Ciptagelar. Hasil karyanya adalah upaya interpretasi tentang makna tradisi dan budaya, seperti ritual panen beras di karya Leuit (2020) dan ritual Prah Prahan di karya Ancestor Synchronism (2021).
Sejak tahun 2014, Arum terhitung sangat aktif berkarya melalui jalur residensi. Ia pernah berpartisipasi di residensi Kaleidoscope Project di Yogyakarta, Village Video Festival di Jatiwangi, dan Lapuak Lapuak Dikajangi di Solok. Oleh karena itu, pengembangan karyanya condong berbasis waktu dan lokasi tertentu. Subjek dan peristiwa memang menjadi dua penggerak besar, baik sebagai stimulan maupun tema yang diinvestigasi. Pengaruh jurnalistik seperti ini membekas pada proses kekaryaannya. Namun, jurnalistik tidak membuat karyanya menjadi dokumentatif. Jurnalistik justru menjadi metode praktik yang mempertajam penyerapan tentang hal-hal di sekitar. Ini membuat imajinasi dan interpretasi subjektif Arum menjadi berelasi dekat dengan subjeknya. Interpretasi tersebut tetap berpijak pada pengetahuan dan pengalaman langsung tentang subjek dan lokasi yang dibicarakan.
Seniman : Arum Tresnaningtyas
Judul : Novelty Vogue
Tahun : 2020
Medium/Material : cetak di atas kertas foto
Dimensi : 100 x 150 cm; 4 edisi, 1 AP
Pernyataan Seniman:
Hijab telah berkembang dari gerakan agama dan budaya menjadi mode yang mengikuti tren. Berbagai gaya hijab menciptakan nilai baru bahwa perempuan berhijab tidak lagi dianggap kuno dan konservatif. Fenomena ini menyebabkan tumbuh dan berkembangnya toko-toko busana muslim dan iklan-iklan yang merepresentasikan perempuan dan laki-laki berbusana muslim. Fenomena budaya ini terkait dengan komodifikasi dan munculnya produk budaya bertema muslim, seperti film dan sinetron. Hijab telah menjadi gaya dan pakaian baru yang biasa ditemukan dalam berbagai aktivitas sehari-hari. Rangkaian karya ini melihat hijab sebagai ekspresi fashion sehari-hari dan bebas untuk dimaknai oleh siapa saja, terutama perempuan. Karya ini juga menggambarkan keterikatan orang pada tren dan tekanan teman sebaya jika mereka tidak mengikuti tren. Sebagai representasi dari proses, kita meniru dan menyesuaikan dengan tren sehari-hari kita melalui fashion hijab.
Makin banyaknya pengguna hijab menarik perhatian para perancang busana untuk menciptakan hijab yang fashionable. Hijab telah mengalami banyak perbuhan bentuk, gaya, bahan, dan aksesoris tambahan untuk menunjang penampilan Anda. Indonesia kini menjadi salah satu pusat fashion hijab yang diakui dunia. Saat ini, mengenakan hijab tidak lagi dianggap kuno dan konservatif. Arti hijab juga berubah. Tidak hanya sebagai alat penutup tubuh, tapi juga dimaknai sebagai perhiasan, pelindung, keselamatan, dan pencerminan nilai pemakainya. Hijab sebagai pernyataan fashion kini hadir dalam aktivitas keseharian perempuan-permepuan muslimah di Indonesia.
Saya membuat bentuk baru hijab untuk menanggapi tren keseharian masyarakat Indonesia. Contohnya, hijab untuk pengemudi ojek online, hijab putri duyung yang terinspirasi dari sinetron, serta hijab untuk berkebun dan berolahraga.