Teman Perupa ICAD — Eddi Prabandono

Tanamtumbuh Media
3 min readDec 2, 2021
Doc: ICAD

EDDI PRABANDONO (Pati, 8 Juli 1964) adalah seniman yang aktif berkarya di Yogyakarta. Medium trimatra mencakup patung dan instalasi menjadi pilihan berkaryanya. Eddi mengenyam pendidikan di Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus 1945 (lulus 1984), lalu menempuh pendidikan Desain Interior di Politeknik Jawa Dwipa (lulus 1990), keduanya di Semarang. Eddi lalu masuk ke ISI Yogyakarta jurusan seni grafis. Ia mempelajari lebih lanjut disiplin printmaking lewat beberapa kegiatan residensinya di Jepang.

Eddi menyaksikan geliat seni kontemporer di Yogyakarta pada awal tahun 1990-an tatkala karya-karya instalasi menjadi medium yang lantang untuk berbicara. Dari keriuhan skena serta kondisi sosiopolitik Orde Baru, karya-karya awal Eddi bersifat instalatif dan mengeksplorasi tema-tema kritik sosial-politik yang bernada suram. Karya-karya instalasi awalnya menggunakan idiom-idiom visual yang provokatif, mulai dari otak sapi dan kepala babi yang diformalin, hingga botol-botol yang diisi oleh usus ayam dan sapi.

Titik balik dalam kekaryaan Eddi adalah ketika ia menjalani residensi di Vermont, Amerika Serikat. Eddi berrefleksi bahwa karya-karyanya selama ini sangat gelap dan berniat untuk membuat karya yang lebih menghibur sehingga publik dapat langsung beralasi dengannya. Ia memilih objek keseharian yang dimulai dari sepeda. Selanjutnya, karya-karya patung Eddi menggunakan objek ready-made keseharian, khususnya bagian-bagian benda dari transportasi, mulai dari spion, pintu mobil, rambu lalu lintas, ataupun bahkan mobil utuh. Penggunaan transportasi ini merupakan refleksi Eddi tentang kecemasannya pada dunia yang selalu bergerak cepat. Karya Eddi yang menjadi penanda dalam metode ini adalah After Party #3: Living in The High Life (2013) yang menampilkan vespa meliuk-liuk hingga terangkat sampai ke langi-langit.

Kehidupan personal menjadi tema yang dieksplorasi Eddi dalam kekaryaannya. Pasca-gempa Fukushima, Eddi merefleksikan naluri kebapakannya untuk melindungi si buah hati, Luz. Karya gigantik Eddi menggunakan ikon kepala Luz menjadi patung besar dari terakota yang diletakkan di bawah tanah yang digali menjadi materialisasi dari inspirasi sekaligus kekhawatiran yang dibawa Luz pada Eddi. Luz menjadi salah satu tema pameran tunggalnya yang berjudul Strategic Presentation: Sculpture, Luz, and Illusion (2009).

Karya-karya patungnya juga mempertanyakan kembali konsep-konsep yang taken for granted, baik di ranah publik maupun medan seni. Karyanya yang paling terkenal adalah Mohon Doa Restu (2009), berupa toilet yang dipasang di atas tiang tinggi dan diletakkan di ruang terbuka di sudut kota Yogyakarta. Karya ini dibuat Eddi untuk mengkritik pemerintah Yogyakarta yang kurang memfasilitasi ruang publik dengan kamar mandi yang layak pada saat itu. Dalam beberapa karya terakhirnya, Eddi memberikan homage pada karya Marcel Duchamp dan Piet Mondrian, dan dengan menggunakan wordplay, ia menambahkan idiom rupa yang khas Eddi, yaitu sepeda (karya Fiets Mondrian, 2016).

Eddi merupakan finalis Philip Morris Art Award tahun 2003 dan mendapatkan predikat “Indonesian Artist of The Year 2011” dari Majalah Tempo. Karya-karyanya telah dipamerkan baik di tingkat nasional maupun internasional, seperti Artjog, Biennale Jogja, SEA Triennale, Artstage Singapore, dan Venice Biennale 2015. Karyanya juga dikoleksi oleh ruang-ruang publik, seperti Jing’an yang merupakan pusat keramaian di Shanghai.

--

--