Teman Perupa ICAD — Nindityo Adipurnomo

Tanamtumbuh Media
4 min readDec 1, 2021
Doc: ICAD

NINDITYO ADIPURNOMO (Semarang, 24 Juni 1961) adalah seorang seniman lintas medium yang aktif berkarya di Yogyakarta. Ketertarikannya pada seni dimulai dari kegiatannya menggambar dan membuat publikasi di gereja ketika remaja dan pergaulannya dengan sanggar seni di daerahnya. Nindityo mengenyam pendidikan seni di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta (1981–1988) dan residensi di Rijksakademie, Belanda (1986–1987). Sebagai seniman, Nindityo mengeksplorasi berbagai tema dan medium yang merupakan responnya terhadap kenyataan sosiokultural kontemporer yang beririsan dengan akar tradisi masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya. Menurut Nindityo, kebudayan adalah sesuatu yang senantiasa bergerak, sehingga seorang seniman akan terus belajar dan berhenti belajar (unlearning) terkait kondisi budaya kita yang tidak lepas dari pasca-kolonialisme.

Proyek seni berbasis riset dan eksplorasi found object menjadi metodenya bekerja, seperti tampak pada seri karya monumentalnya yang mengeksplorasi ikon konde baik lewat sculpture, lukisan, fotografi performas, dan instalasi. Nindityo membedah konsep introversion masyarakat Jawa dengan mengimajinasikan konde sebagai tempat inkubasi perlintasan pemikiran kebudayaan yang datang ke alam pikiran Jawa untuk nantinya dikeluarkan sebagai strategi kebudayaan orang Indonesia. Karya ini membedah tegangan antara tradisi dan modernisme yang hadir karena kolonialisme yang pada gilirannya melahirkan eksotisasi pada ketimuran. Tentu praktik kekaryaan ini menjadi kesempatan untuk memeriksa ulang tradisi kita sendiri. Ikon konde juga membedah praktik patriarkal yang inheren dalam budaya Jawa, di mana bentuk konde menjadi materialisasi atas male-gaze.

Lewat eksplorasi terhadap ikon-ikon lokal ini, Nindityo memperluas praktik keseniannya ke ranah global lewat perspektif translokalitas. Dalam pandangan Nindityo, translokalitas adalah membingkai praktik tradisi dan keseharian masyarakat-masyarakat kecil sebagai sebuah negosiasi warga terhadap kekuatan arus globalisasi dan kapital. Lewat pendekatan ini, Nindityo bekerja secara intensif dengan para pengrajin rotan di Sukoharjo, Solo. Keterpukauannya pada praktik kerajinan (craft) juga berakar dari cara berkesenian yang memaksimalkan penggunaan bahan yang dapat dilihat sebagai praktik recycling. Rotan menjadi medium yang ia eksplorasi dalam karya-karya kekiniannya. Medium ini menampung gagasan dan responnya terhadap fenomena kematian dan budaya yang meliputinya yang menjadi perhatiannya saat ini, yang diwujudkan dalam bentuk peti mati.

Proyek riset artistik terbarunya, Mono Human Being, berangkat dari isu bom bunuh diri di Surabaya yang dilakukan oleh satu keluarga. Kejadian di mana warga desa menolak jasad para pelaku bom bunuh diri ini untuk dikuburkan mengganggu Nindityo. Lalu, bagaimana media massa menekankan narasi pada praktik terorisme bukan pada diskusi bagaimana pembentukan citra Keluarga Berencana. Hal ini memantik Nindityo untuk berpikir bahwa kematian juga diliputi oleh relasi kuasa yang perlu dibongkar lagi, baik itu dibingkai oleh agama, tradisi, sosial, maupun korporasi.

Bersama Mella Jarsma, Nindityo adalah pendiri Rumah Seni Cemeti yang mendukung pertumbuhan seniman-seniman dan aktivis seni di Yogyakarta sejak tahun 1989 hingga saat ini. Ruang ini menjadi salah satu think tank penting seni kontemporer di Indonesia yang melahirkan eksplorasi dan pemikiran baru terkait seni di Indonesia. Dari Galeri Cemeti, lahir pula sebuah lembaga pengarsipan seni yang menjadi infrastruktur krusial publik seni hari ini, IVAA (Indonesian Visual Art Archives). Penghargaan yang diraih oleh Nindityo Adipurnomo, antara lain Jogja Biennale Lifetime Achievements Award (2010) dan John Rockefeller 3rd Award (Asian Cultural Council, 2005).

Seniman : Nindityo Adipurnomo

Judul (Series) : Mono Human Being

Tahun : 2020–2021

Medium/Material : Anyaman rotan, terdiri dari dua benda gantung di dinding; Mahagony wood, Rattan pitrit

Dimensi : Bervariasi

Detail Karya : Farewell Crown

Tahun : 2021

Medium/Material : Rattan pitrit
Dimensi : 60 x 67 x 30cm

Detail Karya : Mono Human Being #2 _ Free Floating Body from Police Line3

Tahun : 2020
Medium/Material : Mahagony wood, Rattan pitrit

Dimensi : 180 x 80 x 50 cm (hitam); 170 x 70 x 50 cm (putih)

Detail Karya : Mono Human Being #3 _ Free Floating Body from Police Line2

Tahun : 2020
Medium/Material : Mahagony wood, Rattan pitrit

Dimensi : 200 x 120 x 25 cm (hitam); 185 x 80 x 50 cm (putih)

Detail Karya : Mono Human Being #3 _ Free Floating Body from Police Line3

Tahun : 2020
Medium/Material : Mahagony wood, Rattan pitrit

Dimensi : 190 x 120 x 25 cm (hitam); 185 x 70 x 50 cm (putih)

Doc: Nindityo Adipurnomo

Pernyataan Seniman :

Seri “Mono Human Being” ini, sebenarnya, saya terjemahkan secara bebas melalui persepsi saya atas paparan Bennedict Anderson pada “Kuasa Kata” tentang kosmologi Jawa sebelum diubah oleh agama-agama samawi; kosmologi yang tidak terlalu memisahkan antara dunia nyata di bumi (terrestrial) dengan dunia atas (transcendental), suatu bentuk ketuhanan yang menyatu dengan dunia.

Jadi, saya dan kita ini tumbuh, dibentuk oleh jejadian sejarah Jawa Ambang, di mana masuknya agama-agama samawi makin menegaskan batas-batas terrestrial dan transcendental. Saya jadi merasa menemukan bahasa bentuk yang ambang, yakni abstraksi jasad yang mengambang, mencuat dari garis polisi pada orang-orang yang meninggal di jalanan.

--

--